Minggu, 30 November 2008

Cerpen gwe...ASLI!!!

Pagi itu SMA Pelita Harapan sudah sangat sibuk. Hari Senin. Suasana bertambah ramai ketika bel berbunyi. Semua siswa menuju lapangan belakang. Di sana pasukan pengibar bendera sudah bersiap-siap. Para siswa berbaris dengan tertib.

Sementara itu di salah satu sudut sekolah, segerombolan anak Pitiq Club sedang asik bercanda. Pitiq Club terkenal sebagai gerombolan anak-anak pemalas dan bandel. Mereka sudah sering membolos, baik saat upacara maupun saat jam pelajaran sekolah. Salah satu anggota Pitiq Club adalah Feby. Namun, pagi itu tidak seperti biasanya. Feby terlihat sangat diam. Teman-temannya sedikit heran walaupun pada akhirnya mereka tidak memperdulikannya. Anak-anak Pitiq Club yang lain tetap saja bercanda dengan lelucon-lelucon khas mereka.

Tiba-tiba mereka semua terdiam saat menyadari ada seseorang. Begitu terperanjatnya mereka melihat sosok Pak Purnomo yang sudah tidak asing bagi mereka. Wajahnya sangat tidak ramah dan menunjukkan ekspresi tidak senang pada anak-anak Pitiq Club. Mereka pun sudah terlalu hapal untuk mengikuti Pak Purnomo ke ruang konseling. Sepanjang jalan mereka hanya menutup mulut, tak sedikitpun berkata-kata, apalagi bercanda seperti tadi. Melihat Feby yang sedari awal diam, Anton bertanya, “Eh Feb, kamu kenapa? Sakit?”

“Nggak kok, Cuma lagi badmood aja,”

“Beneran nich? Aku liat dari tadi pagi kamu diem banget. Kalo memang sakit biar aku yang memintakan ijin buat kamu,”

“Beneran kok, nggak ada apa-apa. Nggak perlu kawatir gitu!”

“Hmmm…ya udah,”

Tidak ada yang tau isi hati Feby yang sebenarnya. Feby sedang merasa kacau. Niat baiknya untuk berubah dan tidak akan bandel mulai hari ini berbuah pahithanya karena dia terlambat dating ke sekolah. Karena takut dihukum, dia dengan sangat terpaksa memilih untuk membolos lagi dengan teman-temannya. Sepanjang perjalanan menuju ruang konseling dia sudah merasakan firasat yang tidak enak dan itu membuatnya tidak nyaman. Sudah berkali-kali dia dan teman-temannya melakukan pelanggaran dan sudah berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan kali diperingatkan bahkan dihukum oleh pihak sekolah.

Kekacauan hatinya semakin menjadi-jadi ketika melihat kepala sekolah dan guru konseling sedang berkumpul. Raut wajah mereka sangat serius dan seketika berubah menjadi tidak senang saat anak-anak Pitiq Club memasuki ruangan. Sekujur tubuh Feby terasa sangat dingin. Dia tidak pernah melihat ekspresi seperti itu.

“Silahkan kalian duduk. Untuk Pak Purnomo saya ucapkan terima kasih dan silahkan bertugas kembali,”

“Baik Pak,”

“Anak-anak, ibu dengan Pak Kepala Sekolah sudah berbicara panjang lebar mengenai hukuman untuk kalian. Kami merasa sudah cukup berbaik hati dengan peringatan dan hukuman skors atas tindakan kalian,”

“Untuk itu demi kebaikan bersama kami sudah memutuskan untuk memanggil orang tua kalian. Ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan,”

DEGGG! Jantung Feby seakan berhenti berdetak. Firasatnya tidak meleset. Kedua orang tuanya akan dipanggil ke sekolah. Feby sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana ibunya akan sangat marah mengetahui hal ini.

“Ini suratnya, dan silahkan kalian pulang. Terima kasih,”

“Baik Pak,” seru anak-anak setengah kompak.

Begitu keluar dari ruangan, Feby berjalan dengan gontai menuju ke ruang kelasnya di lantai atas. Dia tidak memikirkan ocehan teman-temannya yang sibuk menggerutu. Pikirannya sibuk memikirkan ibunya nanti. Dia sangat ketakutan jika ibunya tidak mau menganggapnya sebagai anak lagi. Setibanya di kelas Feby duduk dan termenung. Jika saja dia perempuan mungkin sudah meneteskan air mata. Seketika dia teringat pada seseorang. Kekasih yang sangat dia cintai, Lala, adik kelasnya. Tanpa menunggu dia bergegas menuju ruang kelas Lala, berharap segera bertemu dengannya.

“Lalaaa…”

“Eh, Feby! Ada apa?”

Wajah Lala sangat sumringah membuat hati Feby semakin sakit. Nyalinya untuk berbicara dengan Lala seketika menciut.

“La, aku pengen banget ngomong sesuatu sama kamu,”

“Oke…Eh Feb, aku ada cerita lucu nich! Tau nggak sich? Si Mia sama Rizqy ternyata…”

“Ikut aku!” seru Feby tiba-tiba sambil menarik tangan Lala tanpa memperdulikan ekspresi Lala yang sangat bingung.

“Ada apa ini?” batin Lala.

Sesampainya di taman belakang sekolah Feby melepaskan tangan Lala. Lala pun memegangi tangannya, “Sakit tau Feb!”

“Maaf tapi ini penting banget,”

“Kamu tuch kenapa? Tarik-tarik tangan orang kaya kesurupan!”

“Kamu diem dulu!!!”

Lala terkejut melihat Feby membentah dengan sangat kasar. Sedikit senyum pun tak terlihat di wajah orang yang dia sayangi itu. Mata Lala mulai berkaca-kaca. Namun ditahannya sekuat tenaga.

“Kamu kenapa Feb? Aku salah apa?”

“Aku minta maaf La, sungguh aku nggak bermaksud sekasar tadi. Aku harus ngomong penting sama kamu,” diusapnya rambut Lala.

“Apa?”

“Mulai sekarang…kita putus. Tolong kamu jauhin aku La,”

Lala sudah tak kuasa menahan air matanya. Dia bagai terkena petir di siang hari. Hatinya sakit bagai ditusuk dengan pisau. Air mata membasahi wajahnya. Feby pun hatinya semakin sakit. Dia sangat sadar telah menyakiti hati orang yang sangat dia sayangi.

“Tapi kenapa Feb? Apa udah ada pengganti aku di hati kamu?” isakan Lala semakin terdengar jelas.

“Bukan…” Feby memandang nanar.

“La, kamu tau? Aku sayang sama kamu. Tapi…” Feby menyerahkan sepucuk surat untuk Lala dan Lala membacanya.

“Mungkin nanti aku tidak di sini lagi,”

“Apa maksud kamu Feb? Ini cuma surat panggilan untuk orang tua kan?”

“Iya…tapi aku tau, aku dan anak-anak Pitiq Club akan dikeluarkan dari sekolah ini. Aku yakin itu,”

“Nggak!”

Feby menghela napas dalam-dalam “Ini udah pasti,”

“Kamu tau darimana?”

“Guru-guru dan kepala sekolah di sini sudah sangat muak sama anak-anak Pitiq Club yang sering bikin onar,”

“Jadi, kita putus cuma karena ini?”

“Aku sayang banget sama kamu La. Aku cuma nggak mau nama kamu tercemar. Lagipula kita akan segera berpisah. Toh kita masih bisa ngobrol lewat handphone kan?”

Lama keduanya terdiam.

“Walaupun berat, aku coba buat ikhlasin kamu Feb. Aku minta maaf kalo selama ini belum bisa jadi yang terbaik”

“Aku yang seharusnya minta maaf”

“Kita teman?” tanya Lala sembari menaearkan jabatan tangan.

“Ya,” Feby membalasnya.

Mereka tersenyum. Bel sudah berbunyi tanda masuk pelajaran keempat. Mereka berjalan bersama menuju ruang kelas dan berpisah. Sejenak merka saling pandang dan tersenyum.

“Terima kasih…”

Tidak ada komentar: